Rabu, 17 Desember 2014
Rabu, 15 Oktober 2014
Refleksi Filsafat : Perjalanan Menuju Lautan Kontemporer
Diposting oleh Dewi Widowati di 20.14
Terinspirasi
dari perkuliahan Filsafat Ilmu
oleh
Prof. Dr. Marsigit, MA
pada
hari Kamis, 10 Oktober 2014
Direfleksikan
oleh:
Dewi Widowati
14709251084
PMat A PPs UNY 2014
Objek filsafat termasuk filsafat
ilmu adalah yang ada dan yang mungkin ada. Yang ada dan yang mungkin ada itu
memiliki tak terhingga sifat dan sifatnya berdimensi. Salah satu sifat dari
sekian banyak itu adalah apakah dia bersifat tetap atau apakah dia bersifat
berubah. Sejak awal manusia memikirkannya maka manusia sudah menemukan, selalu
bertanya yang ada dan yang mungkin ada (the
existence). Yang tetap adalah pendapat Permenidas dan yang berubah adalah
pendapat Heraclitos. Hingga dikenal Permenidasian dan Heraclitosian. Itu semua
akan mengalir ke lautan kontemporer.
Sesuatu yang menonjol dari apa yang
tetap itu sejalan dengan apa yang ada di dalam pikiran (idealism) sedangkan yang berubah itu adalah apa yang ada di luar
pikiran (realism). Idealisme
dipelopori oleh Plato dan realism dipelopori oleh Aristoteles. Apabila dilihat
dari segi jumlah maka jumlah satu (relative tetap) termasuk Permenidasian. Bentuk
spiritual satu adalah Tuhan, maka akan menghasilkan monism. Kalau dua akan
menghasilkan dualism. Pancasila termasuk dualism; hablumminallah dan hablumminannas.
Banyak termasuk ke dalam pluralism, dia termasuk Heraclitosian. Kita hidup
dalam lautan kontemporer.
Belajar filsafat adalah menapak
tilas ide para filsuf. Yang tetap juga ada, yang berubah juga ada sampai
sekarang. Menurut Immanuel Kant, “Jika engkau ingin melihat dunia, maka
tengoklah pikiranmu”. Karena dunia termasuk apa yangk kita pikirkan. Yang tetap
ada di dalam pikiranmu, menghasilkan ratio, hingga aliran rationalism dengan
tokohnya Rene Descartes. Dan yang berubah adalah pengalamanmu yang melahirkan
aliran empirisme dengan tokohnya David Hume. Perminidas mengatakan “Tiadalah
sesuatu yang berubah”.Semua bersifat tetap. Manusia tetap manusia. Langit tetap
langit. Heraclitos mengatakan “Tiadalah yang tetap, segala sesuatu itu
berubah”.
Jaman dimana munculnya aliran
rasionalisme dan empirisme disebut jaman modern. Jaman sekarang ini merupakan
jaman post-post modern (kontemporer).
Pada abad 1300-1500 Masehi disebut dengan abad kegelapan. Pada abad tersebut
orang tidak dapat menyebut kebenaran. Pada saat tersebut gereja menyebutkan
dunia sebagai pusat, dan yang lain sebagai gembala-gembala yang mengitari.
Semua berpusat pada bumi. Hingga akhirnya muncullah Copernicus, yang
berpendapat sebaliknya, menjungkirbalikkan gagasan yang dibuat oleh gereja.
Barulah saat itu muncul pendapat dari Rene Descartes yang berpendapat,
“Tiadalah ilmu kalau tanpa berdasarkan rasio” dan pendapat David Hume,
“Tiadalah ilmu kalau tanpa berdasarkan pengalaman”.
Kemudian datanglah seorang Immanuel
Kant sebagai juru tengah. Rasio bersifat analitik dan pengalaman bersifat
sintetik. Analitik itu konsisten (identitas). Sintetik itu kontradiksi.
Analitik itu koheren. Matematika itu koheren. Konsep aku = aku hanya ada di
dalam pikiran kita. Rasio selain bersifat sintetik dia juga bersifat apriori,
maksudnya dapat dipikirkan. Sintetik itu bersifat aposteriori, maksudnya ialah
aku bisa memikirkan apabila telah bisa dilihat. Menurut Kant apabila
digabungkan akan menjadi analitik apriori, analitik aposteriori, sintetik
apriori, dan sintetik aposteriori. Sintetik apriori berdasarkan pengalaman dan logika.
Analitik aposteriori tidak bisa sejalan.
Ilmu termasuk ilmu matematika
seharusnya bersifat sintetik apriori, dibangun berdasarkan pengalaman, tetapi
juga dengan logika. Pengalaman menghasilkan intuisi. Intuisi menghasilkan
kategori. Karena mempunyai pikiran logis, seseorang bisa memaknai pengalaman.
Filsafat Immanuel Kant ditulis dalam tulisan “The Critic of Pure Reason”. Bangunan matematika menurut RME, mulai
dari intuisi ke model, kembali ke model, formal, tingkat tertinggi adalah
spiritual bila dikaitkan dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia. Ilmu yang
kita peroleh mendukung spiritualitas kita.
Dalam ilmu sosial (sosiologi),
kehidupan manusia dibedakan mulai dari terendah yaitu archaic, tribal, tradisional, feodal, modern, post-modern, hingga saat ini yaitu power now. Power now saat
ini menguasai dunia, tokohnya dari Amerika. Power
now menghasilkan kapitalisme, hedonism, utilitarianisme, materialism dan
pragmatism. Konsep ini sampai di ASEAN yaitu MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN).
Indonesia tidak memiliki daya upaya menghadapi himpitan dari MEA. Inilah
kondisi global yang menekan kehidupan di Indonesia. Konsep ideal yang diinginkan di Indonesia
adalah konsep material (dasar), formal, normatif, hingga pada level spiritual
(tertinggi). Namun pihak-pihak luar (Amerika) tidak menggubrisnya hanya
mementingkan sisi materialnya saja.
Label: filsafat ilmu, refleksi
Rabu, 08 Oktober 2014
Will you marry me? Yes, I do
Diposting oleh Dewi Widowati di 14.43
Terinspirasi
dari perkuliahan Filsafat Ilmu
oleh
Prof. Dr. Marsigit, MA
pada
hari Kamis, 2 Oktober 2014
Direfleksikan oleh:
Dewi
Widowati
14709251084
PMat
A PPs UNY 2014
Menikah meliputi yang ada dan yang
mungkin ada. Lengkap. Berbicara dari sisi genetika, apabila hubungan famili terlalu dekat, dikhawatirkan
dapat merusak gen. Ilmu yang mempelajarinya disebut antropologisosial. Pada
kasus orang Jepang, mengapa orang jepang pendek-pendek? Hal ini dikarenakan tradisi orang Jepang
dahulu mengharuskan mereka hanya boleh menikah dengan anggota kerajaan sehingga
genetika mereka rusak. Tetapi seiring perkembangan zaman, budaya Jepang mulai
terbuka, dan memperbolehkan mereka menikah dengan orang di luar Jepang, seperti
orang Amerika, dan lainnya sehingga kini banyak ditemui orang Jepang yang
berpostur tinggi. Oleh karenanya, dilihat dari sisi genetika pernikahan antara
2 suku merupakan hal yang bagus.
Pernikahan dapat dilihat dari hubungan formal dengan
material, normatif dan spiritual.
Hubungan formal, material, normatif dan spiritual meliputi yang ada dan yang
mungkin ada. Jangankan perkawinan, airpun ada materialnya, ada spiritualnya. Menikahpun ada materialnya, ada bentuk fisiknya yaitu ada calon mempelainya. Bentuk formal menikah merupakan hal yang sangat penting. Tanda tangan seorang penghulu merupakan bentuk formal menikah. Apabila tidak ada tanda tangan penghulu, maka pernikahan dianggap belum sah. Bentuk normatifnya merupakan filsafat itu sendiri. Filsafat ada 3 jalur: ontology, epistomologi, serta etik dan estetika. Semua ada ruang dan waktunya. Epistomologi dari menikah itu adalah sumber-sumber pengetahuan tentang menikah, antara lain spiritualitasnya, kitab sucinya, hadistnya, tradisinya, tata-cara, adat, dan seterusnya. Jadi, apabila kita ingin menikah dengan suku yang berbeda, kita harus mempelajari tata cara bagaimana pernikahan masing-masing suku. Epistomologi merupakan sumber pengetahuan, pembenaran, dan macam-macamnya. Bentuk spiritualitas menikah penting. Apabila seorang pria memandang seorang wanita tanpa bingkai spiritualitas, maka akan sangat membahayakan. Wanita akan dianggap sebagai snack saja. Tetapi apabila sudah memiliki bingkai spiritualitas, maka pria akan tahu bahwa memandang wanita tidak boleh berlama-lama. Apabila sudah memiliki anak, terutama anak perempuan, bentuk spiritualitas harus sedini mungkin ditanamkan. Spiritualitas merupakan full of intuition. Jadi, aspek legal formal menikah adalah bentuk formal menikah. (Dewi Widowati/ 14709251084 /PMat A PPs UNY)
Label: filsafat ilmu, refleksi
Subscribe to:
Postingan (Atom)